Lara dan Kesendirian



Lara dan Kesendirian
Oleh PP Sari

Padang gurun yang gersang, tepi sungai yang kering, hamparan sawah dengan tanah yang mengeras. Semua itu terkalahkan oleh kekeringan hati Lara saat ini. pahitnya kehidupan selalu diteguknya setiap saat. Semua kehampaan hati yang menderanya sudah tidak lagi terasa. Karena terlalu hampa. Hati yang terlalu peka membuatnya kini menjadi pekak. Rintihan hatinya sendiri pun, sudah tidak bisa merasakannya. Kenyataan yang terlalu kering dan gersang tidak mengijinkannya untuk peduli pada apapun bahkan pada hatinya. Setiap kengerian yang mendera kehidupannya membuat pikirannya sempit. Dia hilang akal dan arah. Kini dia sudah tidak tau akan mengarahkan hidupnya kemana. Jalan mana yang harus dia pilih, ambil dan jalankan. Semua terlihat sama, berliku, terjal, berbatu, gersang, sendirian. Sendirian. Kata terakhir itu membuat bulu kuduk Lara berdiri. Dia benci itu. Dia benci sendirian. Namun kata itu merupakan sahabat sejatinya. Mengisi hari. Pelipur Laranya. Kata itu adalah magis yang membuat Lara masih bertahan sampai sekarang. Setidaknya Lara belum ingin mengakhiri hidupnya sampai bisa menghilangkan kata sendirian itu dalam hidupnya.
Sejak Lara dilahirkan, Lara memang selalu merasa sendirian. Sekelilingnya mencoba mengucilkannya. Takdirnya memang  buruk. Terlahir dengan wajah standar dan tubuh normal merupakan hal wajar baginya. Namun yang membuat dirinya terkucilkan adalah keluarganya. Dia terlahir dari keluarga miskin, terlantar, dan terkucilkan dari halayak Ramai. Lara kecil yang tidak tahu apa-apa tumbuh dari makanan tanpa gizi dan berbalut pakaian yang tak layak. Lara kecil masih bisa menguntai senyumnya kala itu. Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui nasibnya. Lara kecil adalah anak perempuan yang usil. Dia bermaksud untuk mendapat perhatian dari tetangganya yang mungkin menurutnya selalu mengabaikannya. Lara kecil mencakar setiap anak tetangga yang lewat rumahnya. Dia mencakar temannya itu secara membabi buta namun dengan menunjukkan ekspresi bahagia. Semua tetangga yang melihat kelakukannya langsung memukul pantatnya dan menyuruhnya untuk pulang ke rumah. Orang tuanya pun menjadi bulan-bulanan tetangganya. Lara kecil kini di cap sebagai anak kecil yang gila. Setiap Lara ingin main ke luar rumah bahkan hanya di teras, tetangganya tidak segan-segan meneriakinya gila. Bahkan ada yang dengan tega melemparinya telur busuk. Sungguh tidak manusiawi.
Keluarga Lara selalu di pandang sebelah mata oleh semua orang, bahkan ada yang tidak pernah mamandangnya sama sekali. Lara lahir dari keluarga yang bisa dibilang jauh dari kata mampu. Ayah Lara hanya seorang pengemis yang hasil kerjannya dia gunakan untuk membeli minuman keras. ibu ara hanya mengandalkan tubuhnya untuk mendapat uang, dia seorang pelacur. Kakak laki-laki Lara hanya tergeletak di rumah karena mengidap penyakit hidrosefalus, dan kakak perempuan Lara kini sudah tidak ada di rumah itu lagi, dia di jual oleh ibunya karena tidak bisa membayar hutang pada lintah darat. Sedangkan Lara yang masih berumur 3 tahun sudah harus menanggung nasib dipandang sebagai balita gila oleh tetangganya.
Saat Lara mulai tumbuh menjadi anak normal lainnya, keinginan Lara untuk bersekolah mulai tumbuh. Setiap hari Lara selalu merengek minta disekolahkan. Ibu Lara hanya berkata, “kamu siap dicemooh teman-temanmu jika kamu bersekolah?” dengan lugu Lara selalu menjawab, “aku hanya ingin membuat keluarga ini bisa di pandang orang bu.”
Semenjak Lara bersekolah, perlakuan kasar dari ayahnya bertubi-tubi dia terima. Tak jarang Lara harus berangkat sekolah dengan tubuh memar-memar dan baju kusut tak terawat. Lara menanggung semua itu dengan lapang dada. Semakin besar semakin dia mengerti betapa kejamnya hidup yang akan dia hadapi nanti. Selama mengenyam SD Lara selalu dicemooh oleh teman-temannya. Dia selalu dikucilkan oleh lingkungannya. Julukan anak pelacur, anak pemabuk, anak pengemis tidak henti-hentinya di suarakan oleh teman-temannya. Namun tekad Lara untuk memperjuangkan dan memperbaiki hidupnya dan keluarganya mampu menepis segala takdir yang ada. Lara melesat menjadi murid yang pandai semasa SD. Meski seluruh teman-temannya menjauhinya, namun guru-guru masih ada yang mau mendukungnya karena dia merupakan siswa yang pintar.
Masuk SMP Lara tidak lagi merengek pada ibunya ataupun ayahnya. Lara sudah bisa membiayai sekolahnya. Lara mendapat beasiswa sampai selesai SMP karena behasil memenangkan perlombaan sains nasional. Meski prestasi yang yang ditorehkan Lara begitu banyak di SD, tetap orang tuannya tidak pernah peduli padanya. Hanya perlakuan kejam dari ayahnya sudah berkurang karena dia tidak lagi minta uang jajan dari ayahnya. Dulu saat SD dia selalu mendapat uang jajan dari ayahnya setelah dia mendapat pukulan dari ayahnya. Itu berlangsung selama 6 tahun. Namun tidak terbesit sedikitpun perasaan marah dan sedih di hati Lara. Semua rasa itu telah lama mati. “aku akan tetap mencintaimu ayah, sekejam apapun perlakuanmu padaku,” kata ara setelah mendapat perlakuan buruk dari ayahnya.
Masa-masa SMP-nya sangat berbeda dengan masa SD. Semua teman-temannya tidak lagi mencemoohnya. Itu karena dia bersekolah di tempat yang sangat bagus dan tidak ada yang tahu asal usulnya. Dia merasakan kasih sayang mulai mengisi relung hatinya yang mungkin hampir mati dalam tubuhnya itu. Dia merasa seperti hidup kembali. Merasakan kebahagiaan yang dulu pernah dia dambakan meski tidak dari keluarganya atau dari lingkungan rumahnya. 1 tahun berjalan dengan sangat menyenangkan, sampai suatu ketika teman SD-nya pindah ke sekolahnya itu. Dia bernama Diah. Diah menyebarkan semua aib Lara. Membuat kehidupan Lara kembali memuram. Dia hanya bisa meneguk kebahagian bisa dipandang sejajar oleh teman-temannya selama 1 tahun. Perbuatan Diah itu didasarkan karena Diah menyukai laki-laki yang disukai Lara. Dan laki-laki itu juga menyukai Lara. Itu membuat Diah iri dan ingin hubungan mereka berakhir.
Detik-detik Lara dapat meneguk manisnya cinta pertama harus dibuyarkan oleh cemoohan masa lalunya. Radit akhirnya berpaling darinya dan lebih memilih Diah. Untuk kesekian kalinya, rasa kesendirian itu hadir di diri Lara. Dalam 1 tahun Lara terpuruk dengan semua perlakuan lingkungnnya yang berubah drastis. Lara yang cerdas dan disegani seluruh teman-temannya karena terkenal pintar dan pandai bergaul berubah menjadi Lara yang pendiam karena selalu mendapat perlakuan kasar dari teman-temannya. Ada yang mengempesi ban sepedanya, menyiramnya di kamar mandi, menaruh bubuk gatal di baju olahraganya, dan ada yang tega membakar buku beserta tas sekolahnya. Lara terpaksa menggunakan tas dari kantong plastik selama seminggu untuk sekolah. Dia kembali menggunakan tas setelah berhasil mengumpulkan uang dari hasil ngamen sepulang sekolah. Meski hanya tas bekas namun dia sangat senang karena tas itu adalah hasil dari keringatnya sendiri tanpa meminta uang dari orang tuanya dan tanpa harus merasakan sakit dari pukulan ayah.
“semua yang kulakuan selama ini, apakah tidak bisa membuatku sedikit saja dipandang orang? Mengapa mereka selalu memelakukan aku seperti ini?” kata Lara yang sedang berjalan pulang usai membeli tas bekas dari toko loak. “Haruskah aku merasakan seluruh takdir ini sendirian? Aku ingin ada seseorang saja yang ada disisiku, memihakku, dan tidak meninggalkanku.”
Sisa masa SMP-nya dia habiskan untuk tetap fokus pada pelajaran agar cepat lulus dan mencari sekolah baru dan situasi baru. Dia merasa sudah tidak kuat lagi berada di keadaan seperti ini.
Perasaan kesendirian masih terus menyelimuti dirinya. Dia tidak punya siapapun untuk mengadu. Tidak ada seorangpun. Termasuk sang maha pencipta. Sejak kecil Lara tidak pernah dikenalkan dengan agama. Dalam identitas rapornya memang tertulis agama “islam” namun dia tidak mengetahui apapun tentang agamanya itu.
Lara lulus dengan gelar siswi terbaik dan boleh memilih sekolah manapun yang dia inginkan dan semuannya gratis. Dia menjadi siswi dengan nilai UNAS tertinggi tahun itu. Lara mendapat banyak penghargaan dari berbagai pihak. Dari tingkat kabupaten sampai tingkat provinsi. Semua itu sedikit memberikannya setitik harapan untuk kembali meneguk kembali kegembiraan yang dulu pernah direnggut oleh orang lain. Untuk kedua kalinya senyum Lara terkembang di bibir tipisnya.
***
Seminggu sudah dia menjalani kehidupan masa SMA. Semua tampak normal. Semua orang mengenalnya. Semua orang mengormati dan menghargainya sebagai murid teladan yang nama dan wajahnya pernah menghiasi media massa akhir-akhir ini. untung saja semua itu tidak sampai menginggung perihal latar belakang kehidupanya. Lara selalu menutupi latar belakang hidupnya. Bukan karena malu, Lara hanya tidak ingin semua orang kembali menjauh darinya. Lara tidak ingin sendirian lagi.
Senyum selalu terkembang setiap orang bertemu dengannya. Dia  amat bahagia kala itu. Namun seluruh kebahagiaan itu selalu saja sirna setiap kali dia pulang ke rumah. Lara yang sebagai bintang sekolah masih saja dianggap sebagai sampah di lingkungan rumahnya, sebaik apapun keadaannya saat ini. dia selalu miris melihat keadaan keluarganya saat ini. sedih? Namun sepertinya perasaan sedih itu berangsung menjadi malu dan jijik pada keluarganya sendiri. Bagaimana tidak? Mempunyai keluarga yang bahkan sudah tidak menganggap kehadirannya di rumah itu ada. Kakak laki-laki yang sudah hampir sekarat karena kepalanya kini selalu mengeluarkan cairan, ibu yang selalu ngomel melihat Lara terus saja berada di depan buku dan tidak membantunya mencari uang, dan ayah yang selalu pulang larut dengan membawa 2 botol minuman keras dan terkadang membawa obat-obatan terLarang. Masih pantaskah keadaan ini disebut keluarga. Hanya kakaknya saja yang kini dia pedulikan di keluarga itu. Lara hanya tidak ingin kehilangan saudara lagi. Tidak seperti saat kakak perempuannya di jual.
“apa kakak sudah makan? aku membeli sebungkus nasi dan lauk untuk kita makan bersama. Aku akan menyuapimu,” Lara berbicara pada kakaknya yang sering dipanggil kak yoyo. Lara dengan telaten menyeka cairan yang terus saja keluar dari belakang kepala kakaknya itu.
“kakak sayang adik. Cuma adik yang kakak sayang,” kata kak yoyo sambil memandangi adiknya itu dengan kasih sayang. Lara lalu menandangi kakaknya dengan kagum. Dia merasa hidupnya lebih baik dari kakaknya. Hidup kakaknya bahkan lebih menderita darinya. Dan kakaknya masih kuat untuk tetap bertahan hidup. Kakaknya membuat dia bertambah kuat. Lara berjanji pada dirinya sendiri kalau kebahagiaannya akan selalu dia bagi pada kakaknya itu. Orang yang kini mulai mengisi kesendiriannya.
***
Brata menggedor-gedor pintu dengan botol kaca. Namun tak seorang pun dari tetanggannya mau melihatnya. Mereka sudah terbiasa dengan tingkah urakan laki tua bangka itu. Lara dengan tergupuh-gupuh berlari dari kamarnya untuk segera membukakan pintu yang telah dia kunci. Bukan karena takut ada maling, namun karena takut ada binatang malam seperti ular atau tikus yang masuk rumah. Dia takut kakaknya menjadi sasaran binatang malam. Dia mempunyai beribu kekhawatiran pada kakaknya.
Kteeeeekk....
Setelah pintu terbuka, ternyata brata dengan tega memukul kepala anaknya itu dengan botol yang tadi dia pergunakan untuk memukul pintu. Dia pukul kepala anaknya itu sampai botolnya pecah berkeping-keping. Lara langsung pingsan seketika mendapat perlakuan keji itu. Brata hanya berkata, “anak tolol. Beraninya kau membuatku begitu lama menunggu untuk masuk ke rumahku.” Setelah berkata seperti itu brata malah meninggalkan anaknya itu tergeletak tak berdaya di depan pintu dengan kepala yang berlumuran darah.
2 jam kemudian dua orang warga yang saat itu sedang berjaga malam, melihat Lara tergeletak di depan rumahnya dengan kepala yang bersimbah darah. Kedua orang itu langsung berlari ke pekarangan ara dan membawa Lara ke rumah Pak RT untuk di tangani. Pak RT lah satu-satunya yang masih mau membantu keluarga itu.
“kasihan anak ini. hampir tiap minggu saya menemukan anak ini tergeletak di depan pintu rumahnya dengan keadaan yang mengenaskan, apa harus dibawa kerumah sakit dan mendapat jahitan?” kata salah satu penjaga yang tadi membawa Lara ke rumah Pak RT.
“sepertinya cukup parah, namun tidak perlu dibawa kerumah sakit. Dia bisa aku tangani sendiri.” Pak RT dan istrinya sangat menyayangi Lara. Sudah mereka anggap sebagai anak sendiri.
***
Keesokan harinya Lara tersadar. Dia sudah tidak kaget dengan keadaan ini. setiap kali mendapat perlakuan kejam dari ayahnya, dia selalu berakhir di tempat ini. di kamar tamu kediaman Pak RT. Lara selalu disambut Ramah oleh keluarganya. Terlebih oleh anak Pak RT yang bernama Rama.
“kau sudah baikan nak? Ini diminum dulu susunya. Setelah itu kita makan bersama di ruang makan. ibu sudah membuatkan sarapan yang enak untuk semua.” Kata Bu RT dengan tatapan penuh kehangatan. Disisinya ada Rama yang dengan mata teduhnya memandangagi Lara yang masih terkulai lemas di tempat tidur.
“aku tidak pantas mendapatkan perlakuan sebaik ini dari kalian,” jawab Lara sambil buru-buru bangun dari tidurnya. Namun kepalanya sepertinya tidak mengijinkan dirinya untuk segera pulang. Masih dirasakannya nyeri akibat pukulan dari ayahnya tadi malam.
Bu RT dan Rama langsung menuntunnya untuk duduk bersandar di tempat tidur dan menyodorkan susu untuk dia minum. Dengan canggung Lara meminumnya sampai habis. Selain karena sungkan dia juga memang belum makan dari sore.
“sudah ibu bilang tinggallah disini saja. Jadi anak asuh ibu. Kamu tidak usah kembali ke rumah orang tuamu. Mereka sudah tidak lagi mengaggapmu anak ra. Disini ibu akan memberikan apapun yang kamu butuhkan,” kata Bu RT sambil memegang tangan Lara. Rama yang berada di samping ibunya hanya mengangguk setuju dan melempar senyum pada Lara.
Lara yang selalu mendapat perkataan itu lagi-lagi selalu menjawab, “Lara ingin sekali, namun Lara masih punya kak yoyo yang sangat membutuhkan kehadiran Lara disisinya.”
***
Di ruang makan mereka sangat memerhatikan tingkah Lara. Semua yang ada dimeja makan itu ditawarkan pada Lara. Semua orang yang ada di ruangan itu seperti mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Lara. Lara merasakan hal itu. Kembali Lara hanyut akan kehangatan yang belum pernah Lara rasakan. Kehangat keluarga yang menyayanginya. Dirinya yang kini sedang makanpun masih memikirkan kemantapan hatinya yang mulai goyah. Haruskah dia meninggalkan keluarganya dan menjadi anak angkat keluarga yang “hangat” ini? namun saat kamantapan hatinya ingin meninggalkan keluarganya, Lara selalu ingat dengan kakaknya yang saat ini mungkin sedang membutuhkannya untuk mengambilkan makanan, memandikannya, dan mengganti pakainan.
Lara menatap lauk didepannya dengan tatapan sedih.
“apa makanannya tidak enak?” tanya Bu RT.
“rasanya melebihi kata enak bu. Hanya saja saya tidak tega untuk memakannya.” Kata Lara miris.
“Mengapa?” tanya Rama bingung. Begitu pula dengan Pak RT dan Bu RT yang memandang Lara dengan tatapan bingung.
“aku selalu ingat dengan kakakku yang mungkin saat ini sedang menahan rasa lapar. Ini hari minggu dan ibu pasti tidak pulang.” Kata Lara sambil tertunduk malu.
“setelah kamu selesai makan, akan ibu bungkuskan makanan untuk kakakmu. Jadi sekarang kamu makanlah dengan senang.”
“terima kasih bu,” jawab Lara dengan senyum bahagia.
Kembali persaaan bahagia menyelimuti hati Lara. Dia pulang dengan senyum yang menghiasi wajahnya dan berbekalkan sebungkus nasi dengan lauk yang lengkap. Namun kebahagiaan Lara seketika sirna seletah mendapati kakaknya telah terbujur kaku di ranjangnya. Keadaan kakaknya sungguh mengenaskan. Kepala yang robek dengan cairan dan darah yang mengelilingi kepalanya. Lara langsung berteriak dan terisak menemukan kakaknya itu. Dilihatnya botol bir yang pecah karena kejadian tadi malam. Lara syok karena mengetahui pembunuh kakaknya adalah ayahnya sendiri. Pasti ayahnya mabuk berat. Setelah memukul kepala Lara dengan botol kaca, sisa botol kaca yang masih di genggam ayahnya itu dihujamkan ke kakaknya setelah Lara jatuh pingsan. Lara langsung berteriak minta pertolongan. Dijatuhkannya makanan yang tadinya akan dia makan bersama kakaknya itu. Di bawanya kakaknya itu ke ruang tamu. Kakaknya tidak berat, ditambah dengan kepala yang sudah terkoyak membuat tubuhnya semakin ringan. Lara langsung mengetuk pintu tetanggannya untuk membantunya membawa kakaknya ke rumah sakit. Namun tidak ada satupun dari tetangganya mau keluar rumah dan membantunya. Para tetangganya takut bila berurusan dengan ayahnya.
Lara  yang sudah kehilangan akal hanya mempunyai satu tujuan. Ke rumah Pak RT. Dengan kencang dia menuju rumah Pak RT.
“pak tolong saya pak...” teriak Lara sambil mengetuk pintu rumah Pak RT.
Langsung dibukanya pintu itu oleb Bu RT. “ada apa ra?”
“kak yoyo bu.. kak yoyo dibunuh ayah? Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa? Sepertinya dia sudah tiada? Aku harus berbuat apa bu?” kata Lara sambil merangkul Bu RT.
Bu RT hanya mebelus punggung Lara dengan iba. Kegaduhan yang ditimbulkan Lara membuat Rama dan pa RT segera keluar melihatnya.
“ada apa nak? Tanya Pak RT yang bingung melihat istrinya berpelukan dengan Lara.
“kakaknya dibunuh ayahnya... papah harus mengajak warga ke rumahnya dan mengurus jasad kakaknya.” Perintah Bu RT.
Pak RT dan Rama langsung bergegas pergi memanggil warga dan mengurusi jasad kak yoyo. Kakak yang malang. Semasa hidupnya belum pernah merasakan kebahagiaan. Sampai akhir hayatnya pun belum dia rasakan manisnya kasih sayang sebuah keluarga. Bu RT menenangkan Lara dan mengajaknya masuk ke rumahnya.
Hari itu juga kak yoyo dikuburkan tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Ayahnya mungkin kabur setelah mendapati kedua anaknya terkapar di rumah. Ibunya mungkin masih asik tidur bersama pria hidung belang atau masih tenggelam dalam kenikmatan menjadi selingkuhan pria lain.
Dengan tersedu Lara masih memeluk nisan kakaknya. “maafkan adikmu ini karena tidak bisa melindungimu kak...”
“sudahlah ra... kakakmu pasti lebih bahagia disisinya.” Kata Rama sambil merangkul Lara. Lara tidak mengerti dengan kata “disisinya” Lara hanya menatap Rama dengan tatapan bingung. Rama masih saja merangkulnya dan berusaha untuk mengajak Lara pulang.
***
“Tinggalah disini ra... kami akan menganggapmu sebagai anak sendiri. Daripada kamu harus tinggal bersama ibumu yang tidak tahu kapan pulangnya.” Bujuk Bu RT pada Lara. Pak RT dan Rama mengiakan usulan itu.
“aku sudah begitu banyak membuat keluarga ini susah. Aku tidak ingin membuat beban keluarga ini bertambah besar bu. Aku akan tinggal di rumahku saja. Jika memang tidak aman, mungkin aku akan mencari kos dekat sekolah dan mencari uang usai sekolah.”
“itu akan membuat aku cemas ra... tinggalah disini. Aku akan menjagamu.” Kata Rama yang duduk di samping Lara.
Lara terpana mendengar kata-kata itu. Ada nada ketulusan disana. Ada menih cinta yang mulai tertanam dihatinya saat ini. benih cintanya pada Rama. Lara menatap mata Rama dengan penuh keyakinan. Memastikan kalau Rama juga merasakan hal yang sama. Sama-sama saling mencintai. Dan itu benar adanya.
“Rama saja tidak keberatan. Lagipula kalian bisa berangkat dan pulang bersama. Kalian satu sekolah dan satu jurusan.” Kata Pak RT.
“baiklah. Nanti aku akan berkemas-kemas dan membawa barang-barangku kesini. Namun bagaimana dengan tahlilan kakak?”
“biar kami yang bereskan masalah ini. yang penting kamu harus melindungi dirimu dari ayamu yang sewaktu-waktu bisa datang”
***
2 bulan berlalu dan Lara sudah nyaman berada di rumah itu. Rumah yang memberikannya kehangatan sebuah keluarga. Secara diam-diam Lara berpacaran dengan Rama. Sebenarnya Pak RT dan Bu RT sudah mengetahui itu, namun mereka berusaha tidak peduli.
“tadi pagi ibumu kesini ingin mengambilmu dan kunci rumah, namun ibu hanya memberikan kunci rumah dan mengatakan pada ibumu kalau kamu tidak berada disini,” kata Bu RT pada Lara yang baru pulang dari sekolah bersama Rama.
“dia tidak menanyakan tentang kak yoyo atau ayah?”
“dia sudah tahu dari cemoohan tetangga dan dia sepertinya tidak merasa kehilangan.”
“hati ibuku memang sudah lama tiada.”
Lara langusng berlari ke kamarnya sambil menahan tangis. Disusul Rama yang mengikutinya di belakang. Bu RT hanya memandangi kedua anak itu dengan bingung.
***
“Aku memang tidak pernah dianggap apapun saat ini. mungkin dia hanya mencariku untuk dipaksa menjadi pelacur juga. Dia selalu seperti itu saat pulang kerumah. Dengan beralasan dia mempunyai hutang saat berjudi dan jika tidak melunasinya dia akan dibunuh.” Lara bertelungkup di kasurnya.
Rama hanya memerhatikan dari pintu kamar Lara. Di lubuk hati Rama berdesir hasrat untuk merasakan manisnya tubuh perawan yang kini terbujur indah dihadapannya. Telah cukup lama Rama memendam hasrat itu. Perasaan yang selalu ada saat dia berada di sisi Lara. Lara yang dulu sangat berbeda dengan Lara yang sekarang. Lara yang sekarang sangat menggairahkan bagi setiap lelaki yang melihatnya. Dengan tubuh sintal, kulit putih bersih tanpa bercak, dan wajah yang bersih terawat.
Rama lalu memeluknya dari belakang. Perlakuan itu membuat Lara kaget dan langsung bangun.
“apa yang sedang kau lakukan ram? Aku sedang tidak ingin diganggu, kau bisa tinggalkan aku sendiri.”
“aku sudah lama menunggu kesempatan ini ra. Biarlah aku...” belum sampai Rama meneruskan ucapannya, dia sudah membekap Lara dan kejadian tak terdugapun terjadi.
***
Setelah kejadian itu Lara mulai dijauhi oleh Rama. Ternyata selama ini Rama memacarinya hanya untuk mendapatkan kemuasannya sendiri. Rama kini telah memutuskan hubungannya dengan Lara dan Lara hanya dapat pasrah karena tidak ingin masalah ini sampai terdengar oleh orang tua asuhnya itu. Namun lain cerita setelah Lara mengetahui kalau dirinya hamil. Hamil karena Rama, anak orang tua asuhnya itu.
Seharian Lara mengunci dirinnya di kamar. Dia deperesi dengan keadaannya saat ini. dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia tidak tahu lagi kepada siapa dia harus mengadu atas semua masalahnya ini. perilaku yang tidak biasa ini membuat Bu RT khawatir dan membujuk Lara untuk makan. namun Lara menolak dengan sopan.
2 hari berlalu dan setiap pagi Bu RT selalu mendengar suara Lara yang muntah-muntah di kamarnya. Bu RT langsung menyuruh Pak RT untuk mendobrak pintu kamar ara. sudah 3 hari Lara tidak makan. setelah di dobrak, mereka menemukan Lara terkapar di dpan pintu kamar mandi. Dan Bu RT menemukan tes pek dengan terterakan simbol positif. Lara hamil.
Pak RT langsung mengangkat tubuh Lara dan membawanya ke kasur. Bu RT langsung menunjukkan tes pek itu pada suaminya. Pak RT mendadak marah melihat tanda itu. Bagaimana mungkin Lara hamil. Dia gadis baik-baik. Dan dia tidak pernah keluar malam atau keluar rumah jika tidak bersama Rama. Bu RT dan Pak RT menunggu Lara hingga siuman. Setelah Lara siuman mereka langsung menannyakan perihal tes pek itu dan perubahan sikapnya akhir-akhir ini.
“aku hamil. Dan itu karena ulah Rama. Aku tidak pernah ingin melakukan hal itu padanya. Namun dia membiusku dan aku sudah tidak tau apa-apa lagi. Hal itu terjadi di hari yang sama saat ibuku datang mencariku”
Namun ternyata kedua orang tua asuhnya itu tidak mempercayai kata-kata Lara. Mereka lebih berihak pada anaknya sendiri. Karena mereka pikir anaknyalah yang telah Lara pikat.
“kamulah yang kegatelan merayu akan kami. Kami tahu kalau kamu dan Rama pernah berpacaran, namun kalian selalu merahasiakan hal itu dari kami. Dan dengan mudahnya kamu menuduh Rama yang salah. Kalau kamu tidak kegatelan dan merayu Rama, Rama tidak akan mungkin berbuat seperti itu. Anak dan ibu sama saja.” Kata Bu RT dengan emosi dan endak menampar Lara.
Lara yang sudah tidak punya tenaga hanay menerima tamparan itu sambil meringis menahan sakit dipipinya dan di perutnya yang sudah 3 hari tidak diberi makan.
“saya akan pergi dari sini jika memang saya sudah tidak pantas disini. Namun saya mohon jangan pernah menyamakan saya dengan ibu saya. Biarlah saya yang menanggung semua ini jika memang kalian tega. Mungkin suatu saat nanti kalian akan merasakan hal yang sama yang terjadi pada saya.” Lara beranjak dari tempat tidur dan mengemasi pakaiannya. 5 menit kemudian dia seudah beranjak keluar dari rumah itu. Rumah yang dulu pernah memberikannya kehangatan.
***
Sepeninggal dari rumah Pak RT, Lara terlunta-lunta di jalan. Sudah seminggu dia tidak bersekolah. Dia tidak mencoba menginap di rumah temannya. Dia sudah cukup malu dengan keadaannya. Dia masih bisa bertahan hidup dari tabungannya yang kian hari kian menipis. Lara berteduh di sebuah diskotik saat hujan mulai terasa deras nemerpanya.
“Lara?” tanya seoarang wanita berpakaian terbuka keluar dari mobil mewah.
“ibu?”
“sedang apa kau disini?”
“aku hamil, aku tidak tahu harus kemana. Aku pergi dari rumah orang tua asuhku karena mereka mengira akulah yang telah menggoda anak mereka sampai bisa menghamiliku.”
“kalau begitu kamu ikut ibu saja.”
“ibu sudah punya rumah?”
“tidak, ikut ibu menjadi pelacur. Kamu bisa mendapatkn apa yang kamu mau tanpa harus bersusah payah.” Kata ibunya sambil menggandeng laki-laki tua yang keluar dari mobil.
Lara yang saat itu sedang kalut dan tidak bisa memilih jalan hidupnya lebih memilih mengikuti perkataan ibunya. Dia kini beralih profesi menjadi pelacur.
***
Diteguknya mentah-mentah hidup barunya. Melayani pria hidung belang dengan tawaran tinggi dan berglimang harta telah dia rasakan. Namun suatu ketika dia merasa jenuh dengan semua ini. dia seperti merasa ada bayang-bayang kakaknya yang terus menghantuinya. Yang selalu menyuruh dirinya untuk berhenti melakukan hal yang tidak baik itu. Lara frustasi dengan semua tekanan itu, dia akhrinya kabur dari tempat prostitusi itu dan mencari tempat menyendiri.
Ara kembali larut dalam kesendirian. Lara kembali mulai menghakimi dirinya. Atas apa yang telah terjadi di hidupnya. Segala lika-liku kehidupan yang menyengsarakan batinnya, yag membuat dirinya selalu mareasa kesepian dan kesendirian membuat diarinya jenuh untuk melanjutkan hidupnya. Orang-orang yang dia sangka mencitainya dan akan memberikan secercah harapan untuk kembali bangkit dari keterpurukan malah membuatnya semakin terpuruk. Lara akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya terjun ke sungai.
Sungguh Lara yang malang...
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUMPULAN PUISI: DI BAWAH ARSY LEMBAYUNG SENJA part IV

Balada Pendosa

KUMPULAN PUISI: DI BAWAH ARSY LEMBAYUNG SENJA part III